Saat membaca sebuah surat kabar harian daerah, saya tertarik dengan sebuah headline di Koran tersebut, “Gara-Gara Upload Status Di Facebook, Seorang Siswi SMP Disuruh Pindah Sekolah”. Berita ini mengingatkan saya akan berita yang kurang lebih sama, tapi kali ini menimpa seorang Pegawai Negeri Sipil yang dipecat karena mengkritik jalannya pemerintahan di tempat dia bekerja. Terkait dengan si PNS, saya lupa bagaimana cara dia mengkritik tempat dia bekerja, tetapi siswi tersebut mengupdate statusnya dengan mengatakan bahwa pelajaran si ibu guru tersebut membosankan, dan kegiatan tersebut dilakukan pada saat sang guru sedang menyampaikan pelajarannya. Siswi tersebut dan orangtuanya dipanggil pihak sekolah dan solusinya agar siswi tersebut pindah dari sekolah tersebut. Kegiatan yang dilakukan siswi maupun PNS tersebut sudah bisa dikategorikan sebagai cyberharrasment (pelecehan).
Hal-hal seperti ini sebenarnya sudah bukan berita yang baru lagi, sudah banyak kita baca dan tonton, tetapi hal ini tetap terus terjadi. Sepertinya tidak ada pelajaran yang diambil dari semua peristiwa yang terjadi sebagai dampak dari kemajuan teknologi ini. Mungkin dulu, media yang kita gunakan untuk menyampaikannya melalui telepon seluler, yang mungkin tingkat “kebocoran” informasinya sangat kecil sekali, kecuali ponsel tersebut diperiksa isinya. Tetapi menyampaikannya melalui jejaring sosial seperti facebook maupun twitter, kita harus tahu apa resiko yang akan kita terima setiap kita mem-posting sesuatu, karena begitu kita melakukannya maka seluruh dunia akan mengetahuinya. Kita harus siap menerima hal-hal yang terburuk, karena hal yang baik selalu kita terima dengan senang hati.
Teman saya selalu melakukan tindakan yang berbahaya bagi karirnya. Status FB-nya selalu menyampaikan sesuatu yang tidak mengenakkan, baik bagi teman sekantornya maupun atasannya dan atasan pasangannya. Melalui update statusnya di facebook baru saya tahu ternyata emosinya itu meledak-ledak, diibaratkan seperti knalpot bolong sepeda motor yang dikendarai anak-anak muda yang mencari jati dirinya. Wah..wah..wah.. jika saja ada yang tidak suka terhadap teman saya itu, sangat mudah sekali untuk menjatuhkannya, lebih repot lagi kalau terimbas ke karir suaminya, karena semua komentar tersebut tersaji dengan lengkap di statusnya dan bisa dilihat diseluruh akun FB teman-temannya (itu kalau dia belum menghapusnya). Tinggal di-print, disampaikan kepada orang yang dibicarakan, selesai sudah. Bye..bye.. promosi jabatan.. Degradasi ke Serie-B.
Hal ini kemungkinan besar dilakukan oleh orang-orang yang tidak mengerti dengan benar teknologi yang dia gunakan. Beli gadget/handphone yang teknologi tinggi, tapi hanya bisa digunakan untuk nelepon dan sms saja, fasilitas dan fitur-fitur lainnya hanya dekorasi saja. Terkait dengan facebook, pengaturan di akun facebooknya tidak diatur untuk menjaga keamanan informasinya agar hanya teman-nya saja yang bisa melihat statusnya. Bisa juga dia tidak tahu walaupun orang tersebut, misalkan si-X bukan teman kita di FB, si-X masih bisa melihat statusnya karena si-X teman dari teman kita karena dia tidak mengatur settingannya. Bisa saja si-X tersebut atasan kita di kantor, guru, dosen ataupun polisi, yang postingannya menyangkut orang-orang tersebut. Selesailah sudah..
Diskusi yang biasanya dimulai dengan menyampaikan pendapat secara biasa, layaknya orang-orang yang diajar orangtuanya untuk santun dalam menyampaikan pendapat, sering berkembang dan melebar menjadi ajang nyanyian burung gagak yang menyakitkan telinga dan menganggu ketenangan hati individu yang sedang dibicarakan. Bila Presiden RI yang didiskusikan, rakyatnya yang mencemooh, rakyatnya pasti tidak akan mendapat tuntutan, tetapi lain ceritanya kalau menterinya yang mencemooh, bisa dipastikan sang menteri dicopot dari jabatannya. Bila sang pendidik yang dibicarakan, yang di-didik mencemooh, kalau peristiwa pindah sekolah tidak terjadi seperti siswi yang diberitakan di koran tersebut, minimal nilai pelajaran dari sang guru pasti jelek, terkait dengan etika dan tidak fokus pada saat pelajaran berlangsung, kata sang pendidik. Bila sang atasan yang dibicarakan, si pegawai tersebut siap-siap membereskan mejanya dari kantor untuk mencari pekerjaan yang lain.
Yang paling konyol sebenarnya, bila si pelaku sudah tahu semua tentang hal-hal positif dan negatif dari teknologi yang dia gunakan melalui berita-berita yang dia baca ataupun tonton tetapi tetap dilakukannya. Ini namanya mencari masalah. Sama seperti Om Suryo yang selalu diminta pendapatnya untuk mengecek keaslian sebuah foto ataupun video, demikian juga dengan status FB tersebut mudah sekali untuk ditelusuri siapa orang yang sedang diperbincangkan tersebut. Atau memang dia tak peduli karena sudah terbakar emosi ataupun masabodoh terhadap resiko yang akan diterimanya.
Facebook secara tidak langsung melatih kita untuk semakin sensitive terhadap komentar-komentar yang ada. Masalah yang muncul karena update status tersebut berupa tulisan, yang sering ditafsirkan berbeda oleh orang yang berbeda pula, ada yang bermaksud bercanda, tetapi diterima sebagai sebuah penghinaan, ada yang bermaksud memberi nasehat, tetapi diterima sebagai ejekan, ada yang bermaksud memberi pendapat, dibilang “sok bijak”. Dari rasa sensitifitas inilah, seseorang sering merasa dilecehkan atau tidak, dikritik atau tidak, dinasehati atau tidak. Jika status kita ditanggapi dengan negatif, siap-siaplah untuk menambah jumlah orang yang tidak senang dengan kita, kalau ditanggapi dengan positif, yang sudah, begitu saja (maksudnya teman kita jumlahnya tetap, tetapi kalau tidak, teman kita berkurang, yang tidak senang dengan kita bertambah).
Yang paling tepat dilakukan pada saat kita mem-posting sesuatu adalah seperti yang disampaikan pada www.internetsehat.org , yaitu “Think Before Posting”, berpikirlah terlebih dahulu sebelum mem-publish postingan anda. Yang paling aman sebenarnya adalah jangan pernah menjelek-jelekkan, melecehkan, mengintimidasi, ataupun melukai hati seseorang.