Redenominasi mata uang telah dilaksanakan sejak 90 tahun lalu, tepatnya pada tahun 1923 yang dilakukan oleh negara Jerman dimana pada saat itu Jerman mengalami inflasi yang sangat tinggi (hyperinflation). Sampai saat ini Negara di dunia yang sudah melakukan redenominasi terhadap mata uangnya sudah lebih dari 85 negara. Sedangkan di Indonesia wacana redenominasi ini muncul pertama sekali pada tahun 2010 yang disampaikan Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution untuk menghilangkan tiga angka nol di belakang rupiah dengan alasan demi menyederhanakan perhitungan, karena pecahan rupiah sudah sangat besar, hingga Rp. 100.000,- yang merupakan pecahan terbesar di dunia saat ini setelah Vietnam, 500.000 Dong.
Redenominasi di Indonesia adalah penyederhanaan mata uang, dalam artian pecahan rupiah akan disederhanakan dengan menghilangkan tiga angka nol, misalnya yang senilai Rp. 100.000,- setelah redenominasi akan menjadi Rp. 100,- uang senilai Rp. 1.000,- menjadi Rp. 1,- Yang perlu dicatat adalah meski angka nominalnya berbeda tetapi nilai uangnya tetap sama.
Dalam melaksanakan redenominasi rupiah ini tentunya ada pro kontra di masyarakat, ada keuntungan dan biaya serta resiko yang harus dihadapi. Untuk itu proses redenominasi ini memerlukan waktu yang cukup dalam pelaksanaannya, dimana Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan menyiapkan periode transisi selama 6 (enam) tahun dengan 4 tahapan pelaksanaan redenominasi rupiah : Tahun 2011-2012, Bank Indonesia melakukan pembahasan dengan pemerintah perihal rencana redenominasi; Tahun 2013-2015, pada masa ini akan ada dua jenis mata uang, yakni pecahan lama dan pecahan baru pasca redenominasi; Tahun 2016-2018, pemerintah menargetkan uang saat ini (rupiah lama) akan benar-benar tidak beredar lagi. BI akan melakukan penarikan uang lama secara perlahan; Tahun 2019-2020, pelaksanaan redenominasi mulai terjadi, mata uang rupiah dengan kata baru akan dikembalikan menjadi rupiah. BI akan menyebarkan penggunaan mata uang baru sebagai pengganti uang lama.