twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Monday, June 1, 2009

Empati


Saya sangat tertarik dengan salah-satu cerita dari buku Andy’s Corner buku kedua Andy F. Noya yang berjudul Empati. Membacanya membuat saya jadi teringat dengan cerita dari Kasus Manohara Pinot, masyarakat ada yang berempati tetapi ada juga yang menyalahkan ibunya dengan mengatakan bahwa ibunya melakukan trafficking. Demikian juga dengan kasus pelecehan seksual yang dilakukan polisi di Kota Makassar, dimana dua sejoli yang sedang mengobrol di dalam mobil dipaksa mengaku bahwa mereka melakukan hubungan intim, bahkan mereka dipaksa untuk melepas celana dalam mereka, merekamnya, memeras dan menyebarkan hasil rekaman tersebut. Ternyata pada kasus ini pun, masih ada juga masyarakat yang tidak berempati, masyarakat ada yang mengatakan bahwa si wanita memang perempuan nakal.

Demikian juga dengan perempuan-perempuan korban perkosaan ataupun anak-anak hasil korban perkosaan. Wanita-wanita tersebut yang dipersalahkan karena mengundang birahi lelaki, anak-anak mereka dihujat dengan menyebutnya anak haram, padahal anak tersebut pasti tidak ingin lahir kedunia ini dengan cara tersebut ataupun mana ada perempuan yang ingin kehormatannya diambil secara paksa. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa beban malu tersebut akan dibawa mereka seumur hidup.
Untuk itu saya mengutip secara utuh isi dari “Empati” dari buku tersebut yang tentunya saya tidak ada bermaksud lain selain untuk berbagi cerita dan mengajak masyarakat yang belum memilikinya agar membeli buku Andy’s Corner ini.


Suatu malam, sepulang kerja, saya mampir di sebuah restoran cepat saji di kawasan Bintaro. Suasana sepi. Diluar hujan. Semua pelayan sudah berkemas. Restoran hendak tutup. Tetapi mungkin melihat wajah saya yang memelas karena lapar, salah seorang dari mereka memberi aba-aba untuk tetap melayani. Padahal jika mau, bisa saja mereka menolak.

Sembari makan, saya mulai mengamati kegiatan para pelayan restoran. Ada yang menghitung uang, mengemas peralatan masak, mengepel lantai, dan ada pula yang membersihkan dan merapikan meja-meja yang berantakan.

Saya membayangkan rutinitas kehidupan mereka seperti itu dari hari ke hari. Selama ini hal tersebut luput dari perhatian saya. Jujur saja, jika menemani anak-anak makan di restoran cepat saji seperti ini, saya tidak terlalu hirau akan keberadaan mereka. Seakan mereka antara ada dan tiada. Mereka ada jika saya membutuhkan bantuan dan mereka serasa tiada jika saya terlalu asyik menyantap makanan.

Namun, malam itu saya bisa melihat sesuatu yang selama ini seakan tak terlihat. Saya melihat bagaimana pelayan restoran itu membersihkan sisa-sisa makanan di atas meja. Pemandangan yang sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi, mungkin karena malam itu mata hati saya yang melihat, pemandangan tersebut menjadi istimewa.

Melihat tumpukan sisa makan di atas salah satu meja yang sedang dibersihkan, saya bertanya-tanya dalam hati: siapa sebenarnya yang baru saja bersantap di meja itu? Kalau dilihat dari sisa-sisa makanan yang berserakan, tampaknya rombongan yang cukup besar. Tetapi yang menarik perhatian saya adalah bagaimana rombongan itu meninggalkan sampah bekas makanan.

Sungguh pemandangan yang menjijikkan. Tulang-tulang ayam berserakan di atas meja. Padahal, ada kotak-kotak karton yang bisa dijadikan tempat sampah. Nasi di sana sini. Belum lagi di bawah kolong meja juga kotor oleh tumpahan remah-remah. Mungkin rombongan itu membawa anak-anak.

Meja tersebut bagaikan ladang pembantaian. Tulang belulang berserakan. Saya tidak habis pikir bagaimana mereka begitu tega meninggalkan sampah berserakan seperti itu. Tak terpikir oleh mereka betapa sisa-sisa makanan yang menjijikkan itu harus dibersihkan oleh seseorang, walau dia seorang pelayan sekalipun.

Sejak malam itu saya mengambil keputusan untuk membuang sendiri sisa makanan jika bersantap di restoran semacam itu. Saya juga meminta anak-anak melakukan hal yang sama. Awalnya tidak mudah. Sebelum ini saya juga pernah melakukannya. Tetapi perbuatan saya itu justru menjadi bahan tertawaan teman-teman. Saya dibilang sok kebarat-baratan. Sok menunjukkan pernah keluar negeri. Sebab di banyak negara, terutama di Eropa dan Amerika, sudah jamak pelanggan membuang sendiri sisa makanan ke tong sampah. Pelayan terbatas karena tenaga kerja mahal.

Sebenarnya tidak terlalu sulit membersihkan sisa-sisa makanan kita. Tinggal meringkas, lalu membuangnya di tempat sampah. Cuma butuh beberapa menit. Sebuah perbuatan kecil. Tetapi jika semua orang melakukannya, artinya akan besar sekali bagi para pelayan restoran.

Saya pernah membaca sebuah buku tentang perbuatan kecil yang punya arti besar. Termasuk kisah seorang bapak yang mengajak anaknya untuk membersihkan sampah di sebuah tanah kosong di kompleks rumah mereka. Karena setiap hari warga kompleks melihat sang bapak dan anaknya membersihkan sampah di situ, lama-lama mereka malu hati untuk membuang sampah di situ.

Belakangan seluruh warga bahkan tergerak untuk mengikuti jejak sang bapak itu dan ujung-ujungnya lingkungan perumahan menjadi bersih dan sehat. Padahal, tidak ada satu kata pun dari bapak tersebut. Tidak ada slogan, umbul-umbul, apalagi spanduk atau baliho. Dia hanya memberikan keteladanan. Keteladanan kecil yang berdampak besar.

Saya juga pernah membaca cerita tentang kekuatan senyum. Jika saja setiap orang memberi senyum kepada paling sedikit satu orang yang dijumpainya hari itu, maka dampaknya akan luar biasa. Orang yang mendapat senyum akan merasa bahagia. Dia lalu akan tersenyum pada orang lain yang dijumpainya. Begitu seterusnya sehingga senyum tadi meluas kepada banyak orang. Padahal, asal mulanya hanya dari satu orang yang tersenyum.

Terilhami oleh sebuah cerita di sebuah buku Chicken Soup, saya kerap membayar karcis tol bagi mobil di belakang saya. Tidak peduli siapa di belakang. Sebab dari cerita di buku itu, orang dibelakang saya pasti akan merasa mendapat kejutan. Kejutan yang menyenangkan. Jika hari itu dia bahagia, harinya yang indah akan membuat dia menyebarkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang yang dia temui hari itu. Saya berharap virus itu dapat menyebar ke banyak orang.

Bayangkan jika Anda memberi pujian yang tulus bagi minimal satu orang setiap hari. Pujian itu akan memberi efek berantai ketika orang yang Anda puji merasa bahagia dan menularkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang disekitarnya.

Anak saya yang di SD selalu mengingatkan jika saya lupa mengucapkan kata ”terima kasih” saat petugas jalan tol memberikan karcis dan uang kembalian. Menurut dia, kata ”terima kasih” merupakan ”magic words” yang akan membuat orang lain senang. Begitu juga kata ”tolong” ketika kita meminta bantuan orang lain, misalnya pembantu rumah tangga kita.

Dulu saya sering marah jika ada angkutan umum, misalnya bus, mikrolet, bajaj, atau angkot seenaknya menyerobot mobil saya. Sampai suatu hari istri saya mengingatkan bahwa saya harus berempati pada mereka. Para supir kendaraan umum itu harus berjuang untuk mengejar setoran. ”Sementara kamu, kan, tidak mengejar setoran?” Nasihat itu diperoleh istri saya dari sebuah tulisan almarhum Romo Mangunwijaya. Sejak saat itu, jika ada kendaraan umum yang menyerobot seenak udelnya, saya segera teringat nasihat istri tersebut.

Saya membayangkan, alangkah indahnya hidup kita jika kita dapat membuat orang lain bahagia. Alangkah menyenangkannya jika kita bisa berempati pada perasaan orang lain. Betapa bahagianya jika kita menyadari dengan membuang sisa makanan kita di restoran cepat saji, kita sudah meringankan pekerjaan pelayan restoran.

Begitu juga dengan tidak membuang karcil tol begitu saja setelah membayar, kita sudah meringankan beban petugas kebersihan. Dengan tidak membuang permen karet sembarangan, kita sudah menghindari orang dari perasaan kesal karena sepatu atau celananya lengket kena permen karet.

Kita sering mengaku bangsa yang berbudaya tinggi, tetapi berapa banyak di antara kita yang ketika berada di tempat-tempat publik, ketika membuka pintu, menahannya sebentar dan menoleh ke belakang untuk berjaga-jaga apakah ada orang lain di belakang kita? Saya pribadi sering melihat orang yang membuka pintu, lalu melepaskannya begitu saja tanpa peduli orang dibelakangnya terbentur oleh pintu tersebut.

Jika kita mau, banyak hal kecil bisa kita lakukan. Hal yang tidak memberatkan kita, tetapi besar artinya bagi orang lain. Mulailah dari hal-hal kecil. Mulailah dari diri Anda lebih dulu. Mulailah sekarang juga.

No comments:

Post a Comment

Thank you for your comment.