Para supir ojek demo terhadap salah satu pasal di UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada pasal 107 ayat 8 :"Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor dan penumpang sepeda motor wajib mengenakan helm yang memenuhi Standar Nasional Indonesia". Biasa memakai helm "proyek" yang notabene murah dan ringan, tiba-tiba diharuskan menggunakan helm yang mahal dan berat, tentunya mereka merasa keberatan. Padahal helm Standar Nasional Indonesia itu sudah umum sebenarnya digunakan di beberapa kota besar di Indonesia. Pemerintah bermaksud baik dengan mengeluarkan pasal tersebut karena kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian terjadi paling banyak disebabkan oleh benturan di kepala. Kepala merupakan salah satu organ tubuh yang paling penting di tubuh manusia, jadi mungkin saja para ojek maupun masyarakat yg keberatan menggunakan helm SNI itu menganggap kepala mereka tidak penting karena isi kepala mereka tidak ada yang penting menurut mereka. Menggunakan helm "proyek" seperti yang kebanyakan digunakan pengendara sepeda motor di kota-kota kecil, pada saat kendaraan melaju dengan kecepatan tinggi pasti mengakibatkan helm tersebut lepas dari kepala kita, akibatnya konsentrasi mengemudi terganggu karena secara refleks pasti salah satu tangan digunakan untuk menangkap helm tersebut.
Dua alasan mengapa masyarakat enggan menggunakan helm SNI adalah tidak punya uang untuk membeli dan tidak nyaman menggunakannya. Fenomena maraknya perusahaan pembiayaan yang memberikan kredit untuk membeli sepeda motor dengan syarat yang mudah membuat jumlah sepeda motor meningkat pesat di beberapa kota. Untuk membayar kredit saja sudah setengah mati, apalagi membeli helm yang "mahal".
Peraturan yang sampai saat ini membingungkan masyarakat adalah pasal 112 ayat 3 :"Pada persimpangan jalan yang dilengkapi alat pemberi isyarat lalu lintas, pengemudi kendaraan dilarang langsung berbelok kiri, kecuali ditentukan lain oleh rambu lalu lintas atau alat pemberi isyarat lalu lintas". Nah, sosialisasi akan pasal ini dirasakan sangat minim di masyarakat. Masyarakat yang selama ini sudah terbiasa dengan aturan belok kiri boleh langsung (belki bolang) jadi aturan yang baru ini. Jadi sekarang si belki sudah tidak bolang lagi, udah sipit kali. Dari sosialisasi yang pernah dilakukan oleh pemerintah melalui Metro TV beberapa bulan yang lalu, mereka mengatakan untuk simplenya, kalau tidak ada marka jalan yang memperbolehkan boleh belok yah jangan belok. Tapi sampai saat ini, marka-marka jalan yang lama belum diganti atau dicopot, apakah memang marka tersebut tetap berlaku atau aparat lupa mencopotnya.
Satu lagi aturan yang kurang masyarakat pahami, khususnya di daerah-daerah yang tingkat kepadatan lalu lintasnya sedikit, apa sebenarnya fungsi dari menyalakan lampu utama pada siang hari seperti yang tertulis di UU No 22 Tahun 2009 pasal 107 ayat 2. Apakah memang fungsinya agar mobil ataupun kendaraan bermotor menyadari bahwa dibelakang kendaraan mereka ada kendaraan yang lain. Disadari memang melalui kaca spion kendaraan bermotor kita cahaya lampu itu akan mencolok, terutama pada saat banyak kabut asap. Apakah ada fungsi lainnya selain hal tersebut, karena kalau hanya itu banyak pengemudi di daerah-daerah kurang merasakan manfaatnya dibandingkan dia harus sering mengganti bola lampu kendaraannya karena sering digunakan.
Untuk itu, aturan-aturan yang baru dari UU No 22 Tahun 2009 tersebut harus lebih disosialisasikan secara massive, karena pada dasarnya penggunaan helm SNI sangat melindungi keselamatan jiwa pengendara dan aturan yang ada dibuat untuk melindungi semua pengguna jalan raya. Sebagai warga negara yang baik tentunya kita harus patuh terhadap hukum, tetapi hendaknya kita sebagai masyarakat bukan mematuhinya bukan karena keterpaksaan (takut ditilang), tetapi karena kesadaran bahwa mengikuti aturan-aturan tersebut akan menyelamatkan nyawa kita yang berharga.
kemrn polisi razia pemakaian helm sni, helmku mmg ga ada logo sni, tp lbh bgs dr sni ttp ditilang polisi. ga cocok bnr jk acuannya sni aja, hrsnya sesuai standar sni dan lbh dr sni.
ReplyDelete